Inspiration

Thierry Detournay Si Kreator Sukses Cokelat Jawa Cita Rasa Belgia

Semua orang pasti mengenal cokelat. Cokelat adalah salah satu makanan ringan favorit yang disukai banyak orang. Rasanya yang manis membuat makanan ini diburu untuk  dijadikan makanan penutup atau hanya sekedar cemilan.

Di Kota Yogyakarta, saat ini sedang gandrung cokelat yang memiliki cita rasa unik yang bernama Cokelat Monggo. Usut demi usut, cokelat ini dikreasikan oleh seorang pria asal Belgia yang telah lama tinggal di Yogyakarta bernama Thierry Detournay.

Kepada indotrading.com, Selasa (19/7/2016) Thierry mengungkapkan asal mula ia mulai menjalankan bisnis Cokelat Monggo. Tidak disangka, Pria kelahiran Berchem Saint Agathe 2 Maret 1966 ini memulai bisnis Cokelat Monggo karena rasa rindu mencicipi cokelat Belgia setelah tinggal lama di Yogyakarta.

Foto: Thierry Detournay/Dok: Pribadi

Foto: Thierry Detournay/Dok: Pribadi

“Datang ke Yogyakarta untuk jalan-jalan lalu saya merasa betah dan aku mulai tinggal di sini (Yogyakarta) itu tahun 2001. Lalu pasti kita kan kangen hal-hal yang terbiasa (dilakukan), salah satunya saya kangen cokelat,” ungkap Thierry.

Baca juga: Mengenal Budi Yulianto, Pengusaha Sukses Asal Bangka Belitung Pemilik 29 Perusahaan

Lantas, Thierry mulai mencari produk cokelat di ritel dan supermarket di kawasan Kota Yogyakarta. Sayangnya, rasa cokelat yang dijual di ritel dan supermarket tidak sesuai dengan lidah Thierry. Ia pun memutuskan untuk belajar membuat sendiri cokelat yang memiliki cita rasa Belgia dengan sumber daya yang terbatas.

“Kemudian saya bikin sendiri dengan belajar membuat cokelat. Sedikit sulit karena resep langsung dari Belgia,” tambahnya.

Thierry akhirnya berhasil membuat produk cokelat pertama jenis truffle yang memiliki cita rasa Belgia. Setelah ia yakin cokelat bikinannya dirasa cukup enak dan pas dengan cokelat asli Belgia, Thierry mulai menawarkan kepada teman-temannya untuk sekedar mencicipi. Tidak disangka, cokelat buatannya banyak dipesan oleh teman- temannya yang sudah mencicipi.

“Mereka bilang enak sekali,” katanya dengan sumringah.

Kemudian Thierry lebih bersemangat untuk membuat cokelat dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Selain menjual kepada teman-temannya, Thierry juga bertekad untuk menjual sendiri cokelat buatannya. Akhirnya dia membeli sebuah sepeda motor bekas jenis vespa yang sudah tua berwarna pink. Vespa tua disulap menjadi sebuah tempat berjualan yang unik.

Dengan vespa tua, ia menjual cokelat setiap Minggu pagi di daerah sekitar UGM dan di daerah luar Gereja Kota Baru. Produk cokelat yang dibuat Thierry dijual dengan harga Rp 2.000/pcs. Tujuannya saat itu hanya untuk kesenangan serta mencari minat dan reaksi dari masyarakat bukan untuk mencari keuntungan.

“Itu vespa lama dan warnanya pink saat saya beli, tetapi menjadi display menarik untuk meletakkan cokelat, jadi lucu. Kita menjual setiap sunday morning di UGM. Kita hanya berjualan di sana. Itu hanya iseng aja karena belum punya pengalaman apa-apa,” tuturnya.

Lahirnya Brand Cokelat Monggo

Thierry tetap melanjutkan rencananya untuk membuat cokelat yang variatif namun tetap memiliki cita rasa Belgia. Untuk mewujudkan impiannya, maka pria Belgia tersebut menggabungkan sumber daya yang terbatas dengan modal yang ada. Ide pertama muncul yaitu untuk membuat sebuah toko. Namun hal itu gagal dan tidak dilanjutkan akibat sepinya pembeli yang disebabkan bom Bali tahun 2002. Meski terjadi di Bali, bom Bali tahun 2002 memberikan dampak yang cukup signifikan seperti penurunan jumlah wisatawan di Kota Yogyakarta akibat kebijakan travel warning.

“Kita menderita saat itu dan tutup,” sebutnya.

Meski bom Bali telah menghancurkan bisnisnya, Thierry memilih untuk tidak menyerah. Di tahun 2005 ia kemudian mulai bangkit dan mendirikan sebuah perusahaan bernama Anugerah Mulia. Ia bercerita, perusahaan tersebut memiliki tim kecil yang penuh kreasi. Akhirnya ia meluncurkan produk pertama dengan nama Cacaomania yang berupa cokelat praline yang ditujukan bagi kalangan muda. Tetapi nama Cacaomania akhirnya ditinggalkan karena dinilai terlalu umum dan memiliki kemiripan dengan sebuah merek produk cokelat. Thierry mengatakan produk cokelat buatannya membutuhkan nama khusus untuk dapat diluncurkan di pasaran.

Baca juga: Pernah Terlilit Rp 2 M, Wanita Ini Sukses Berbisnis Selat Beromzet Rp 20 Juta/Bulan

“Saya cari nama sampai ke kamus karena saya ingin konsep yang baru. Saya ingin membuat cokelat ini menjadi oleh-oleh khas dari Yogyakarta. Dengan cara itu kita punya kans Yogyakarta itu punya cokelat,” jelasnya.

Thierry dan tim berusaha menemukan nama yang pas, mudah didengar, mudah diingat dan tentu saja unik. Tiba-tiba salah seorang dari tim mengucapkan “Monggo”.

Foto: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

Foto: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

“Yes! Lalu ada teman yang bilang monggo,” sebutnya.

Menurut Thierry, “Monggo” adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti “silahkan”. Kata tersebut selalu digunakan oleh orang-orang Yogyakaarta sambil mengacungkan ibu jari, ataupun ketika kita lewat di depan orang, serta pada saat kita mengundang orang masuk ke rumah atau meninggalkan rumah seseorang.

Namun demikian banyak orang yang bukan berasal dari Yogyakarta menggunakan kata “Monggo”. Nama tersebut sangat menggambarkan budaya Jawa, kota Yogyakarta, serta nama yang tepat untuk cokelat buatan Thierry.

“Monggo itu familiar dengan orang Jawa dan tentu saja berarti sangat ramah dan nyaman saat diucapkan. Kalau saya katakan juga cocok menggabungkan cokelat dengan kata “Monggo” dan itu pas sekali. Lalu kami tampilkan dikemasan cokelat lalu dijual ke ritel dan supermarket,” tukasnya.

Gabungkan Konsep Bisnis dengan Budaya Jawa

Setelah penamaan “Cokelat Monggo”, Thierry mulai menata bisnis cokelatnya lebih profesional. Dengan modal pinjaman dari orang tuanya sebesar Rp 100 juta, Thierry mulai menyiapkan segala sesuatu mulai dari bahan baku pembuatan, proses produksi, kemasan hingga penjualan. Untuk produksi dilakukan di sebuah pabrik yang berada di
Kotagede, Yogyakarta.

Baca juga: Hebat! Surya Agung Saputra Sukses Terbangkan Salak Pondoh Hingga ke China

Thierry menceritakan, pola bisnis penjualan Cokelat Monggo yang bakal dilakukan sedikit berbeda dengan produk cokelat merek lainnya. Caranya, ia bakal menggabungkan produk Cokelat Monggo dengan budaya Jawa. Kemudian untuk mempermudah rencananya itu agar berjalan, ia memiliki konsep yang mudah dipahami oleh tim yang bekerja. Konsep yang dicetuskan Thierry adalah CUEGS. CUEGS adalah panggalan kata dari Care yang berarti Peduli, Unique (Unik), Educate (Edukasi), Genuine (Asli) dan Share (Membagikan kebahagian lewat cokelat).

Foto: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

Foto: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

“Kami kan punya prinsip dasar CUEGS. Kami care atau peduli, lalu kita unik dan educate yang berarti makan cokelat itu bagus untuk kesehatan. Kita juga buat simbol-simbol dari Jawa karena kita ingin mengangkat Jawa. Tentu saja cokelat kita punya kualitas,” tambahnya.

Penerapan konsep budaya Jawa bisa dilihat pada kemasan cokelat monggo yang banyak menggambarkan simbol wayang. Kemudian outlet penjualan juga didesain dengan arsitektur klasik. Di dalamnya outlet penjualan, Thierry sengaja menambahkan berbagai pernak-pernik khas Jawa. Cara ini terbilang jitu untuk mendatangkan para pembeli
dari berbagai tempat.

“Banyak yang datang ke Cokelat Monggo karena keunikan. Kualitas dan gaya kita tetap nomor satu,” sebutnya.

Persaingan Ketat di Bisnis Cokelat

Tidak mudah bagi Thierry Detournay berjualan Cokelat Monggo. Apalagi di tengah persaingan pasar cokelat di dalam negeri yang semakin ketat. Thierry mengaku agak sedikit kesulitan saat memperkenalkan Cokelat Monggo di pasar ritel dan supermarket. Hal ini juga diperparah karena mayoritas orang Indonesia justru lebih menyukai
produk cokelat impor dari negara lain.

“Dari segi marketing banyak kendala. Masuk ritel dan supermarket sangat susah dan berat. Lalu di kota tertentu seperti Semarang dan Surabaya susah berkembang di sana karena orang tidak tertarik dan saya juga bingung. Tetapi produk (cokelat) dari luar mereka justru lebih tertarik,” kata Thierry.

Padahal Thierry menilai cokelat buatan dalam negeri tidak kalah bila dibandingkan produk cokelat impor. Apalagi Cokelat Monggo yang memiliki kualitas premium dan memiiki cita rasa beda dari cokelat lain. Thierry mengatakan Cokelat Monggo memiliki kualitas internasional.

“Kami kan selalu ingin mendorong produk lokal bisa bersaing dengan kualitas internasional. Indonesia kalau mau bersaing harus berani memainkan kualitas. Jadi orang akan tertarik beli dengan kualitas yang bagus,” tambahnya.

Foto: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

Foto: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

Hal lain yang pernah menghambat sulitnya menjual produk Cokelat Monggo adalah jenis kertas kemasan yang digunakan. Kertas kemasan yang digunakan Thierry adalah daur ulang dan dinilai beberapa toko kurang menarik.
“Kita bilang ini kertas daur ulang,” tegasnya.

Masalah lainnya muncul yaitu harga Cokelat Monggo terbilang cukup mahal bila dibandingkan cokelat jenis lain yang dijual di pasar. Namun Thierry memastikan harga mahal yang ditawarkan Cokelat Monggo sebanding dengan kualitas produk yang ditawarkan. Saat ini Cokelat Monggo dibanderol mulai harga Rp 16.000-30.000/pcs hingga ratusan ribu rupiah. Meski terbilang cukup mahal, Thierry memastikan Cokelat Monggo yang diproduksinya enak dan halal untuk dikonsumsi.

“Harganya lebih tinggi juga di pasar. Kita tentu berbeda karena bahan baku kita mahal dan tentu saja resepnya berbeda. Rasanya jauh lebih enak,” sebutnya.

Baca juga: Ivan Diryana: Mantan Teknisi ‘Peracik’ Bisnis Rendang Nenek

Meski memiliki harga lebih mahal, Thierry punya jurus jitu menaklukan pesatnya persaingan pasar cokelat. Hal ini dilakukan agar Cokelat Monggo tetap dilirik masyarakat dibandingkan cokelat jenis lainnya.

“Semua hambatan itu bisa dikurangi dengan cara bagi-bagi cokelat dengan orang secara gratis. Kita ini pecinta cokelat jadi bukan hanya bisnis yang dipikirkan tetapi juga kita sering bagi-bagi cokelat secara gratis. Kemudian di setiap toko kami, orang bisa cicip Cokelat Monggo gratis,” tegasnya.

Lirik Pasar Luar Negeri

Cokelat Monggo memang sudah memiliki nama yang cukup dikenal di Kota Yogyakarta. Thierry menyediakan 6 outlet khusus penjualan Cokelat Monggo di Kota Yogyakarta seperti di kawasan Kotagede dan Jalan Tirtodipuran. Kemudian Thierry juga membangun satu outlet di Kota Solo.

Skema perluasan bisnis sudah disiapkan Thierry untuk mengantisipasi pesatnya permintaan Cokelat Monggo. Tahun ini, Thierry bakal menyiapkan outlet penjualan di Bandara Adi Sucipto (Yogyakarta), satu outlet di Bandara Adi Sumarmo (Solo). Thierry juga sudah berencana untuk membangun outlet di Jakarta, Bandung, Semarang, Bali, dan Surabaya untuk memperkuat pasar.

“Bisnis kita setiap tahun terus berkembang,” sebutnya.

Selain memasarkan produknya di Pulau Jawa, di tahun mendatang Thierry sudah mentargetkan Cokelat Monggo bisa dijual di luar Pulau Jawa seperti Sumatera dengan bekerjasama dengan ritel atau supermarket. Sementara itu, Thierry juga sudah berniat untuk memasarkan Cokelat Monggo di luar negeri seperti di kawasan Asia dan Eropa.
Namun prioritas pasar luar negeri yang bakal digarap adalah pasar Asia Tenggara.

Foto: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

Foto: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

“Kalau di luar masih rencana. Tahun depan prioritasnya keluar pulau Jawa dan Bali dan bisa saja mungkin juga diekspor. Peluangnya ada di Prancis dan Asia khususnya pasar ASEAN. Kenapa juga tidak ke Belanda dimana negara tersebut suka produk Indonesia karena punya ikatan sejarah. Kemudian bila ada orang yang tertarik dari negara lain kita terbuka saja,” tuturnya.

Merambah pasar ekspor buakan hal baru bagi Thierry. Produk Cokelat Monggo pernah diperkenalkan di Amerika Serikat lewat sebuah pameran. Di Amerika, Cokelat Monggo mendapatkan apresiasi yang cukup baik.

“Di Amerika juga ada komunitas bangsa Indonesia yang cukup aktif loh,” tukasnya.

Mantab di Bisnis Cokelat dan Hidupkan Budaya Jawa

Bisnis Cokelat Monggo bergerak cukup cepat. Dengan modal pinjaman sebesar Rp 100 juta, Thierry Detournay berhasil membesarkan nama Cokelat Monggo. Cokelat Monggo diproduksi dengan menggunakan biji kakao lokal yang didatangkan dari Gunung Kidul dan Kulonprogo, Yogyakarta dengan campuran kakao fermentasi.

“Kami melibatkan petani biji kakao di sana,” kata Thierry.

Sayangnya jumlah biji kakao yang berasal dari Gunung Kidul dan Kulonprogo jumlahnya sedikit atau tidak sebanding dengan produk Cokelat Monggo. Maka Thierry memilih untuk memasok biji kakao juga dari daerah lain di Pulau Jawa.

Meski sudah meraih kesuksesan, Thierry tidak besar kepala. Ia berpendapat saat ini belum mencapai kesuksesan karena masih banyak pekerjaan berat terutama untuk membesarkan nama Cokelat Monggo. Dari bisnis cokelat Monggo yang dimulai sejak tahun 2005, Thierry mampu mempekerjakan 150 orang.

“Saya pikir bisnis ini akan terus berkembang, apalagi dengan adanya golongan middle class yang berkembang. Peluang pasar cokelat masih cukup besar,” tambahnya.

Foto: Outlet Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

Foto: Outlet Cokelat Monggo/Dok: Pribadi

Selain sukses di bisnis cokelat, Thierry juga memberikan perhatian khusus kepada budaya Jawa yang semakin langka. leh karena itu, ia tetap akan meletakkan simbol-simbol budaya Jawa kuno di setiap penjualan produk Cokelat Monggo.

“Budaya Jawa saat ini semakin langka dan tradisi Jawa dulu, orang sudah mulau tidak tertarik. Kita berjuang agar budaya Jawa itu tidak punah. Kita angkat budaya Jawa lewat Cokelat Monggo,” tegasnya.

Setekah sukses, Thierry tidak ragu membagikan tips dan trik. Salah satu yang ditekankan Thierry agar Anda menjadi pengusaha sukses adalah hanya perlu fokus pada satu bisnis yang dikerjakan.

Baca juga: Hafizh Suradiharja ‘Permak’ Bisnis Jajanan Roti Singapura Ala Indonesia

“Kita bisa sukses dari apa yang kita suka dan kita lakukan. Saya berbulan-bulan melakukan sesuatu tanpa gaji, siap menderita. Tetapi saya senang karena Cokelat Monggo adalah hasil buatan saya. Jangan pernah menyerah dan kita tidak akan berhasil kalau gampang nyerah. Lalu fokus. Saya liat di Indonesia orang banyak tidak fokus. Banyak
membangun bisnis lain dan akhirnya tenaganya terpecah dan tidak fokus lagi sehingga hancur. Jadi fokus itu penting. Fokus, fokus dan fokus,” tutupnya.

Penulis : Wiji Nurhayat,  Editor  : Wiji Nurhayat

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top