Berbagai media digital yang bermunculan dewasa ini menawarkan sebuah cara pandang baru dalam melihat sebuah peluang bisnis. Prediksi yang diucapkan oleh Alvin Toffler, seorang futurist dari Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pada abad ke 21 adalah masa dimana sebuah pergeseran budaya industri akan terjadi mulai terbukti. Proletariat akan berubah menjadi kognitariat.
Jika dahulu industri dipenuhi dengan tenaga kerja yang cenderung menggunakan ototnya dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya, di abad ini para pekerja secara umum akan menggunakan otaknya sebagai alat untuk menghasilkan uang.
Kita bisa melihat prediksi yang diucapkan Alvin Toffler tersebut dengan melihat perkembangan dunia digital sekarang. Banyak sekali perusahaan start-up yang kemudian menjadi bidang usaha yang sangat diminati, khususnya oleh anak-anak muda. Belum ditambah semakin terkikisnya batasan-batasan antar negara dengan adanya media sosial. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa pluralisme budaya menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. East meet West, begitu istilah singkatnya.
Pergeseran dari masa proletariat ke kognitariat pada akhirnya akan mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Anda bisa memperhatikan bahwa banyak orang yang kemudian rela berjam-jam melihat smartphone miliknya karena tidak ingin ketinggalan informasi terbaru. Hal ini sendiri sudah banyak menjadi bahan penelitian para ahli. Kalau dirunut dalam sebuah satu kesatuan, bisnis start-up tidak akan sukses jika tidak ada orang-orang yang maniac dengan informasi di dunia maya.
Dalam bisnis semuanya memiliki konsekuensi negatif, begitu juga dulu di saat Marx menuliskan magnum opus-nya mengenai paham sosialisme yang ingin mempersatukan kaum buruh. Dulu buruh-buruh di Eropa merasa teralienasi dari lingkungannya karena harus bekerja selama 12 jam atau lebih dalam sehari. Mereka tidak memiliki waktu untuk membangun relasi dan bercengkerama dengan keluarga, sementara itu di masa digital ini yang menjadi titik masalah utama adalah teralienasinya seseorang oleh dunia maya.
Baca juga : Internet Cepat Jangan untuk Kepentingan Sesaat
Lalu, bagaimana kita bisa menghadapi persoalan ini dan tetap menjalankan profesionalisme pekerjaan kita dengan penuh integritas? Menurut pakar etika bisnis setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan seorang individu memiliki sebuah etika profesionalisme di dalam dirinya terutama di masa digital, di antaranya sebagai berikut
1. Tradisi Adat Istiadat
Tidak akan ada yang menyangkal bahwa adat istiadat adalah salah satu faktor yang membentuk kepribadian seorang individu walaupun ada faktor lain yang juga turut mempengaruhinya. Adat istiadat yang dianut pada dasarnya selalu bersifat relatif, begitu pula konsekuensinya.
Misalnya, seseorang besar di Pegunungan Himalaya, Tibet yang dipenuhi dengan kultur yang sangat religius tidak akan tertarik dengan modernitas yang dialami oleh kebanyakan orang saat ini. Mereka tentu tidak terlalu mengenal apa itu Facebook, Twitter dan media sosial lainnya sehingga penggunaan media sosial di wilayah seperti ini hanya akan menjadi pajangan belaka, berbeda dengan orang yang berada di budaya Barat misalnya yang dituntut untuk selalu mobile dalam setiap tindak-tanduknya.
2. Pendidikan
Walaupun faktor ini bersifat tidak mutlak, namun para peneliti memiliki bukti bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki etika profesionalisme dibandingkan orang yang lebih rendah tingkat pendidikannya. Masalah etika profesionalisme disini tidak hanya sekadar tepat waktu dalam menyelesaikan pekerjaan sehari-hari namun juga kemampuan untuk menghindarkan diri dari godaan-godaan yang bersifat tidak etis dalam bisnis, misalnya plagiarisme.
Baca juga : Inilah 5 Negara Pengembang Aplikasi Android Terbesar di Dunia
Dunia maya sangat memungkinkan seseorang melakukan kecurangan dalam bentuk plagiarisme karena begitu bebasnya informasi yang tersebar di sana. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi biasanya terbentuk dalam kultur pendidikan yang ketat. Mereka tidak akan melakukan kesalahan sekecil apapun terkait masalah plagiarisme. Salah satu contoh kultur pendidikan sangat dijunjung tinggi yakni perusahaan Google yang hanya menayangkan artikel yang baik di halaman pertamanya.
3. Budaya Organisasi
Faktor terakhir yang mempengaruhi seseorang memiliki sikap profesionalisme dalam pekerjaannya adalah budaya organisasi. Setiap perusahaan memiliki budaya yang berbeda dan hal tersebut sangat ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya dalam bidang perusahaan, lokasi perusahaan, dan pemilik perusahaan. Bidang perusahaan akan sangat mempengaruhi sikap profesionalisme para karyawannya, misalnya perbedaan antara seorang pekerja di perusahaan multinasional dengan pekerja di pabrik. Di sebuah perusahaan multinasional yang mayoritas pekerjanya anak muda, sosial media menjadi sebuah kebutuhan mutlak, bahkan salah satu alat bantu riset dan promosi yang handal, sedangkan di lingkungan pabrik, penggunaan dunia maya lebih terbatas.
Dari ketiga poin di atas, dapat disimpulkan bahwa tantangan profesionalisme di masa digital sangatlah relatif. Kita tidak bisa melakukan generalisasi bahwa orang yang hampir tiap jam menggunakan sosial media sebagai orang yang mengalami gangguan bersosialisasi, namun terkadang tuntutan pekerjaan yang memang mengharuskan mereka untuk berperilaku demikian. (leo)
Sumber : Fraedrich, John, O.C. Ferrell, dan Linda Ferrell. 2011. Ethical Decision Making for Business 8th Edition. South Western: Cengage Learning.