Menjalani bisnis di bidang kuliner atau jasa itu sudah biasa. Tetapi bagaimana bila mengolah kulit ular dan buaya menjadi produk fashion bernilai puluhan juta? itu pasti luar biasa.
Faktanya, fenomena ini dilakukan oleh beberapa pengusaha yang ada di Indonesia. Meskipun ada yang menilai sangat mengerikan, tetapi karya dari produk fashion yang mereka hasilkan diapresiasi bahkan dihargai hingga puluhan juta.
Mengenai kulit ular dan buaya yang digunakan sebagai bahan baku juga tidak sembarangan. Mereka telah mengantongi izin dan memiliki sertifikat khusus dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Jadi singkatnya kulit ular dan buaya yang digunakan adalah legal.
Kemudian selain dicintai oleh para penikmat fashion lokal, produk berbahan dasar kulit ular dan buaya asal Indonesia juga telah diekspor ke berbagai negara. Dari mulai Benua Asia, Australia, Eropa hingga Amerika. Tentunya hal ini sangat menguntungkan negara karena menghasilkan banyak devisa.
Mau tau siapa saja mereka dan produk fashion apa saja yang mereka hasilkan? Berikut ini adalah penjelasannya seperti dikutip indotrading.com, Senin (3/10/2016).
1. Pardianto Pemilik Toko Argo Boyo
Kisah pertama datang dari salah satu pengusaha asal Papua bernama Pardianto (51). Dia adalah salah satu pengusaha sukses dengan hasil produk kerajinan tangan berbahan dasar kulit buaya.
Pardianto kemudian mendirikan Toko Argo Boyo di Timika, Papua di tahun 2000. Tokonya menjual berbagai macam jenis souvenir khas Papua berbahan dasar kulit buaya.
Dengan dibantu oleh 5 orang karyawan, ia berhasil menghasilkan berbagai macam jenis souvenir kulit buaya dengan motif yang unik sebut saja tas golf, tas wanita, sabuk, trolley bag, dompet hingga tas komando untuk keperluan militer tentara.
“Ya karena motif buaya itu kan kulitnya selalu menonjol atau timbul jadi orang senang sama motifnya. Kan macam-macam motifnya, ada motif punggung, kepala, ekor dan kaki, sehingga terlihat unik. Itu alasan kenapa banyak peminatnya,” kata Pardianto.
Mengenai kulit buaya yang digunakan, Pardianto mendapatkan dari masyarakat asli Papua seperti Suku Kamoro, Suku Amungme. Namun sebelumnya, Pardianto telah berkonsultasi dan mendapat izin dari BKSDA.
Kulit buaya yang didapat Pardianto berasal dari masyarakat sekitar. Ia memberikan harga kulit buaya sebesar Rp 30.000 per inci. Seekor buaya ukuran besar bisa mencapai 20 inci kulit dan dalam 1-3 hari bisa mendapat pasokan sekitar 200 inci. Kulit mentah itu berbentuk kasar, bersisik hitam, dan masih banyak daging yang menempel.
Kulit buaya mentah lantas disamak atau dihaluskan dengan cara manual tanpa bantuan mesin modern. Cara ini dilakukan agar kulit buaya menjadi halus dan layak pakai. Hasilnya produk Pardianto dibanderol mulai ratusan ribu hingga puluhan jutaan rupiah. Seperti dompet dan ikat pinggang kisaran Rp 300.000, sepatu Rp 1,8 juta-Rp 2 juta, dan tas wanita Rp 2 juta-Rp 2,5 juta. Dari ketiga barang tersebut Pardianto mengakui, tas wanita dan dompetlah yang paling laku di pasaran.
Sementara itu, pembeli produk Pardianto tidak hanya terbatas di Papua saja. Pembeli datang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi. Tidak hanya sebatas dari masyarakat lokal, pembeli produk buatan Pardianto juga berasal dari mancanegara Jerman, Norwegia, Jepang dan Australia. Dengan begitu, setiap bulan Pardinto berhasil meraup omzet hingga Rp 400 juta.
“Per bulan kita mendapatkan omzet kotor Rp 400 jutaan,” tegasnya.
Baca selengkapnya: Unik dan Langka, Pengusaha Ini Jualan Produk Kulit Buaya Beromzet Ratusan Juta
2. Yeni Setiowati Pemilik Dania Handycraft
Kisah pengusaha selanjutnya datang dari Yeni Setiowati (41). Wanita kelahiran Pati, 13 Desember 1975 itu mampu mengolah kulit ular dan reptil menjadi produk fashion berkelas seperti tas dan sepatu yang memiliki nilai jual tinggi.
Melalui brand Dania Handycraft, Yeni memulai usahanya ini sejak tahun 2009. Bisnisnya terus berkembang dengan angka permintaan yang semakin bertambah setiap tahunnya. Kemudian tas dan sepatu kulit ular dan reptil juga telah masuk pasar ekspor, seperti ke Jepang hingga ke Amerika Serikat.
Yeni Setiowati mengaku punya alasan kuat mengapa dirinya mengambil dan menekuni bisnis fashion dengan bahan kulit ular dan reptil. Menurut Yeni menggunakan kulit ular dan reptil akan memberikan kesan ‘beda’ dan lebih eksklusif bila dibandingkan dengan kulit sapi.
Yeni mengungkap bila ia mendapat pasokan kulit mentah ular dan reptil dari pengepul asal Pulau Sumatera yang telah mengantongi izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Kulit tersebut kemudian ia beli dengan harga yang variatif tergantung panjang, lebar serta kualitas kulit ular atau reptil.
“Kita ambil kulitnya itu dari tempat yang legal. Untuk ularnya itu diambil dari hutan. Tapi mereka memilki kuota pengambilan jadi diawasi oleh BKSDA setempat. Misalkan dia dalam satu bulan sudah mengambil 100 ular kalau sudah mengambil segitu dia tidak boleh mengambil lagi jadi setiap bulannya memang ada ketentutan kuota,” kata Yeni.
Kulit mentah tersebut kemudian harus melalui proses penyamakan. Kulit hasil proses penyamakan lalu dikeringkan hingga menjadi lembaran kulit yang siap diolah menjadi produk fashion seperti tas, sepatu, ikat pinggang. tali jam, gantungan kunci, jaket, hingga hiasan interior.
Selain memiliki kesan ‘beda’ dengan kulit sapi, penggunaan kulit ular dan reptil sebagai bahan baku pembuatan produk fashion seperti tas dan sepatu juga memiliki nilai tambah lainnya. Seperti tingginya harga jual.
“Kalau untuk tas dari harga Rp 1 juta hingga Rp 3 juta. Yang membuat mahal itu kulit ular yang siisknya sudah tua yang panjangnya 6 meter ke atas. Sepatu harganya dari Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Sedangkan dompet dari harga Rp 100 ribu sampai Rp 400 ribu,” sebut Yeni.
Yeni menjelaskan tas dan sepatu kulit ular dan reptil sudah masuk ke pasar internasional seperti pasar Jepang hingga Amerika Serikat. Namun menurutnya, pangsa pasar ekspor terbesar masih didominasi pasar Asia yang mencakup negara Singapura, Jepang, Korea Selatan dan Hongkong.
“Singapura, Korea, Jepang dan Amerika. Peminatnya paling banyak dari Asia,” ucapnya.
Dengan memiliki pasar tetap di dalam dan di luar negeri, omzet yang didapat Yeni mencapai puluhan juta per bulannya. Sayangnya besaran omzet itu dianggap Yeni belum begitu besar karena terbatasnya suplai bahan baku kulit ular dan reptil.
“Sehingga omzet yang didapat pun tidak besar. Paling Rp 20-30 jutaan per bulan,” tutupnya.
Baca selengkapnya: Beromzet Puluhan Juta, Tas dan Sepatu Ular ini Juga Laku Diekspor ke Amerika
3. Etnawati Melani Pemilik Tegep Boots
Kisah terakhir datang dari Etnawati Melani (38). Dia adalah pebisnis sepatu lokal asal Bandung yang menikmati berkah dari tingginya permintaan sepatu di dalam negeri melalui brand Tegep Boots.
Sejatinya, Tegep Boots dibangun oleh sang suami Tegep Octaviansyah (43) di tahun 1998. Tegep awalnya membangun bisnis sepatu boots dengan brand Clapman di tahun 1996.Tegep yang merupakan lulusan desain produk Institut Teknologi Bandung (ITB) mampu membuat sepatu boots yang unik dan berkualitas. Karyanya mampu menembus pasar internasional yaitu ke Australia, Amerika hingga Jerman.
Namun sayang, saat Tegep ingin memperluas pasar dan memproduksi sepatu boots yang lebih berkualitas, ia harus menghadap Yang Maha Kuasa di bulan Februari 2016. Kini tongkat estafet Tegep Boots dilanjutkan oleh sang istri, Etnawati Melani (38).
Tegep Boots mulai mencuri perhatian masyarakat kota Bandung karena sepatu boots memiliki kualitas berkelas premium dengan bahan baku kulit sapi asli.
“Pokoknya semua yang berbahan dasar kulit dan kulit pun macam-macam dari mulai kulit sapi, domba, eksotik dan lain-lain,” kata Etnawati.
Selain dari kulit sapi dan domba, ada beberapa jenis sepatu Tegep Boots yang terbuat dari kulit buaya. Tentunya bahan baku tersebut didapat dengan proses yang legal dan sesuai dengan rekomendasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat.
“Tapi kita dengan bahan yang resmi ya nggak ilegal. Mau ke luar negeri, ke negera-negara tertentu mereka tidak akan merasa khawatir karena ada sertifikat,” tuturnya.
Sayangnya bagi Anda yang menginginkan Tegep Boots berbahan dasar kulit buaya harus mengeluarkan kocek cukup dalam. Etnawati mematok harga hingga Rp 20 juta per pasang bagi Tegep Boots berbahan dasar kulit buaya. Sedangkan yang menggunakan kulit sapi dan domba rata-rata harganya hanya Rp 2-3 juta per pasang.
“Yang paling mahal itu bahan bakunya dibuat dari eksotic skin, seperti buaya,” sebutnya.
Selain memproduksi sepatu boots, Tegep Boots juga sudah melebarkan sayap bisnisnya dengan memproduksi tas, dompet, jok motor hingga postman bag. Kini produk Tegep Boots dapat Anda temukan di Bali, Surabaya, Bandung dan Jakarta.
“Dan ke depannya Tegep Boots juga akan mengolah kulit buaya sendiri semacam membuat penangkaran buaya,” katanya.
Keunggulan lain dari Tegep Boots adalah seluruh proses pengerjaan mulai dari pelaseran, embossed (pemberian pewarna), hingga sewing (penjahitan) dilakukan dengan menggunakan tangan tanpa mesin (handmade). Oleh karena itu menurut Etnawati proses pengerjaan cukup lama dan diperlukan ketelitian ekstra.
“Kelebihan kita kita itu bisa custom design dan, home made, handmade dan ada ukuran kaki, jadi sepatu itu disesuaikan dengan anatomi kaki si pemesan agar pas dipakai dan merasa nyaman. Selain itu produk kita selalu membuat produk limited edition. Jadi orang mau bayar mahal karena kualitas. Makanya kita bilang kan Tegep Boots itu custom made, handmade dan high quality agar dinilai berbeda dan membuat orang puas,” tegasnya.
Dengan potensi pasar yang cukup besar, saat ini Etnawati mampu mengantongi omzet hingga ratusan juta rupiah per bulannya. Omzet tersebut didapat tidak hanya dari penjualan sepatu boots buatannya tetapi juga produk fashion lainnya seperti tas, dompet hingga jok motor klasik. Tidak hanya itu, sepatu Tegep Boots juga sudah berhasil diekspor ke berbagai negara seperti Australia, Jerman, Amerika plus Hongkong.
“Kalau normal itu (omzet) bisa Rp 400-500 juta,” sebutnya.
Baca selengkapnya: Dari Bandung Tegep Boots ‘Terbang’ ke Australia Hingga Jerman
Penulis: Wiji Nurhayat Editor: Wiji Nurhayat