oleh Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development for Economics and Finance) dan Abdul Manap Pulungan Peneliti Senior INDEF
Hingga saat ini, apakah sektor ekspor Indonesia sudah dapat dikatakan telah berjalan dengan maksimal? Hal ini patut dipertanyakan, mengingat negara kita menyimpan banyak potensi sumber daya alam. Rekan indopreneurs juga harus tahu bahwa negara tujuan ekspor kita masih sangat terbatas.
Keragaman hasil sumber daya alam Indonesia tak lantas menjamin tingkat ekspor yang tinggi. Nyatanya hingga saat ini, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, sebagian besar ekspor mengalir ke negara-negara ASEAN (20,45%), Amerika Serikat (11,3%), Jepang (10,66%), dan Uni Eropa (10,89%). Persentase ini menunjukkan ketergantungan yang cukup tinggi pada kawasan dan negara-negara tentu yang akan berdampak buruk saat gejolak ekonomi terjadi.
Dari sisi ekspor, perekonomian nasional masih terpasung pada ekspor komoditas primer yang harganya ditentukan oleh pasar internasional. Selain itu, pesaingnya pun sangat banyak seperti Crude Palm Oil (CPO) yang bersaing dengan Malaysia. Sementara pada sisi impor, persoalan yang muncul adalah ketergantungan pada sektor industri yang sangat mengandalkan bahan baku impor. Masih menurut data BPS tahun 2015, total impor bahan baku/penolong mencapai US$ 27,6 miliar (75,45%); barang modal US$ 6,4 miliar (17,63%); dan barang konsumsi US$ 2,5 miliar (6,92%) pada Maret 2015.
Industri-industri utama di Indonesia justru memiliki kandungan impor yang sangat tinggi. Industri tekstil, misalnya, kandungan impor mencapai 90%. Di samping itu, contoh lainnya adalah industri makanan yang sebagian besar menggunakan bahan baku gandum. Akan tetapi, jenis-jenis industri ini berkarakteristik industri padat karya. Tingginya impor bahan modal juga berhubungan dengan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) yang mensyaratkan penggunaan teknologi dari negara asal. Tentu saja, persoalan lainnya yang menekan perkembangan ekspor dan impor adalah keterbatasan infrastruktur.
Namun sayangnya, berbagai indikator infrastruktur pendukung ekspor-impor masih sangat buruk. Biaya logistik di Indonesia mencapai 27% terhadap PDB (2012). Angka tersebut jauh di atas beberapa negara tetangga, seperti Korea Selatan (16,3%) atau Malaysia (15%). Sementara itu, biaya logistik terhadap PDB di Jepang hanya 10,6%; Amerika Serikat 9,9%; dan rata-rata Eropa 8 – 11% (Various Sources, 2013).
Baca juga: 5 Produk Ekspor Agribisnis yang Paling Diminati Pasar Global
Bukan hanya itu, dari segi waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan nasional masih jauh dari efisien. Pelabuhan Tanjung Priok membutuhkan sekitar 8-8,7 hari untuk bongkar muat; Singapura (1,5 hari); Hong Kong (2 hari); Perancis (3 hari); Los Angeles (4 hari); Australia (3 hari); Malaysia (4 hari); dan Thailand (5 hari) [ALFI, 2013]. Dengan begitu, persoalan ekspor dan impor tidak bisa diselesaikan dengan jalan pintas.
Menyimak kondisi ini, dibutuhkan kebijakan yang terukur, konsisten, dan berdimensi jangka panjang. Jika ekspor hendak digalakkan bersamaan dengan kenaikan nilai tambah, sektor industri harus digarap serius. Salah satu hal yang diperlukan yaitu ketegasan pemerintah soal regulasi ekspor bahan mentah. Pemerintah juga harus memperluas jangkauan ekspor di luar negara-negara utama. Promosi ekspor menjadi bagian yang penting dan Kementerian Perdagangan mesti sigap mengerjakan tanggung jawab ini.
Dari sisi impor, upaya mengurangi kebergantungan impor dapat dilakukan dengan membangun struktur industri domestik yang kuat. Definisi tersebut merujuk kepada industri berbasis lokal, baik dari bahan baku maupun pelaku ekonomi. Dengan demikian ketergantungan terhadap impor sekaligus juga akan menurunkan ketergantungan terhadap PMA.
Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah menyediakan dan memerbaiki infrastruktur pendukung. Tema ini nyaris menjadi klise, tapi memang faktual menjadi penyakit ekonomi nasional. Pemerintah juga telah menyadari dan menetapkan berbagai target perbaikan infrastruktur dalam RAPBN-P 2015, seperti rasio biaya logistik menjadi 23,6% dan rata-rata dwelling time menjadi 5-6 hari. Meskipun target ini masih jauh dari kebutuhan ideal, tapi sekurangnya telah ada tekad perbaikan dari waktu ke waktu. Sinyal baik ini tentu harus segera direalisasikan agar bisa dirasakan secara nyata dengan dukungan dari pemerintah, para pelaku ekspor-impor, dan masyarakat luas. (editor: erlin)