Kebiasaan umum di Jepang dalam perkenalan, menyambut, atau memberi salam adalah dengan ‘membungkuk’. Menyambut dan memberi salam hendaknya dilakukan dengan sopan dan penghormatan yang wajar. Jika relasi Anda membungkuk, pastikan bahwa Anda membalasnya dengan membungkuk. Dalam hal tertentu, cukup dengan berjabat tangan.
Ini adalah salah satu cara sederhana bagaimana cara Anda bergaul dengan pengusaha asal Jepang. Selain dengan cara ‘membungkuk’, dalam perkenalan diutamakan jangan menyapa relasi pengusaha Jepang Anda dengan nama depannya. Orang Jepang lebih suka menggunakan nama belakangnya. Bisa juga Anda gunakan sebutan Mr, Mrs, atau menambah ‘san‘ pada nama keluarga.
Baca juga: Anda Ingin jadi Pengusaha? Simak 3 Hal Ini
Masih ada hal penting lain saat Anda menjalani relasi hubungan bisnis dengan pengusaha asal Jepang. Berikut ini ulasannya, Selasa (21/6/2016).
1. Pertukaran Kartu Nama
Saling tukar kartu nama (business card) atau ‘meishi‘ merupakan kebiasaan yang penting di Jepang. Pembicaraan bisnis selalu diawali dengan pertukaran kartu nama. Bisnis belum dapat dimulai sampai ada pertukaran kartu nama. Gunakan dua tangan pada waktu menyerahkan kartu, demikian pula sebaliknya ketika menerima.
Pertukaran kartu nama dilakukan setelah ritual salam membungkuk. Pada waktu menerima kartu nama dari calon relasi bisnis, tunjukan bahwa Anda telah mengamatinya dengan cermat dan saksama sebelum menaruhnya di atas meja atau memasukkannya dalam card case. Jangan memasukkan kartu ke dalam dompet, kantong celana, atau menulis pada kartu yang Anda terima. Tindakan ini dipandang sebagai tindakan tidak respek dan sopan. Kartu hendaknya dicetak dalam dua bahasa, di satu sisi bahasa nasional Anda dan pada sisi sebaliknya dengan bahasa Jepang. Hal ini untuk menunjukkan kemauan kuat Anda untuk berkomunikasi dengan relasi Jepang Anda.
2. Pertukaran Cenderamata atau Oleh-oleh
Membawa dan memberikan oleh-oleh merupakan bagian warisan budaya bisnis Jepang tempo dulu yang sangat penting. Pada era bisnis Jepang kontemporer, meskipun membawa oleh-oleh tidak lagi menjadi keharusan, hal itu tetap dihargai sebagai bagian dalam etika bisnis Jepang. Namun, harus diingat, jangan membawa cenderamata
terlalu besar, sebab dapat dianggap sebagai sogokan.
Cenderamata itu sendiri sebenarnya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting dari itu adalah prosesi dan nuansa yang terjadi di balik tukar-menukar cenderamata itu. Cenderamata harus selalu dibungkus secara cermat. Jangan menggunakan kertas bungkus dengan warna putih polos karena menyimbolkan kematian. Penyerahan cenderamata hendaknya dilakukan pada akhir pertemuan atau kunjungan. Penyerahan dilakukan dengan dua tangan, demikian sebaliknya pada waktu menerima.
3. Ketepatan Waktu
Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat dengan budaya tepat waktu yang tinggi. Terlambat dalam suatu pertemuan bisnis dianggap tidak menghargai. Datang lima menit lebih awal merupakan praktek yang umum dilakukan.
4. Penampilan dan Busana
Orang Jepang dikenal sangat konservatif soal pakaian. Mereka sangat menghargai seseorang yang berpakaian pantas sesuai dengan status dan posisinya atau bahasa kerennya, dress to impress. Dalam acara bisnis, jangan mengenakan pakaian casual. Laki-laki sebaiknya memakai business suits warna gelap konservatif. Wanita dianjurkan tidak memakai celana panjang karena dinilai kurang sopan dan memberi kesan ofensif.
5. Jamuan Bisnis
Orang Jepang hampir tidak pernah mengundang jamuan di rumah. Jamuan bisnis umumnya diadakan di restoran. Biasanya tuan rumah akan memilih menu dan membayarnya. Perlu dicatat, memberikan tip bukan hal yang lumrah di Jepang.
Baca juga: 6 Tips Pengusaha UKM Memasuki Pasar Jepang
6. Privasi dan Body Language
Masyarakat Jepang sangat menghargai privasi dan merasa nyaman dengan sikap tenang. Dalam berbicara atau negosiasi, hindari sikap dan gerakan-gerakan tangan yang berlebihan. Orang Jepang tidak bicara dengan tangan. Menunjuk dianggap tindakan yang tidak sopan. Jangan pula menggunakan isyarat ‘OK’ dengan tangan, karena di Jepang berarti uang.
7. Hindari Simbol-Simbol Angka 4
Masyarakat Jepang mempercayai angka 4 sebagai nasib buruk (bad luck) karena bunyi bacaan ‘shi‘ punya kesamaan arti dengan kematian.
Penulis : Wiji Nurhayat
Editor : Wiji Nurhayat