Untuk membagun sebuah perusahaan yang besar, seorang pengusaha perlu belajar dari pebisnis yang telah sukses. Terlebih lagi, orang tersebut merupakan salah satu CEO dari sebuah perusahaan bertaraf internasional. Tentu ada banyak hal yang dapat dicontoh dan ditiru dari orang tersebut, bukan?
Semua orang yang berbisnis pasti tahu bahwa pelanggan atau customer merupakan hal yang sangat mendasar di dalam bisnis. Secara sederhana, pelanggan adalah orang yang membeli produk dan jasa kita. Meskipun semua pelaku tahu apa itu pelanggan, tidak semua mampu memahami pelanggan dengan baik dan tepat. Menurut CEO GE Indonesia, Handry Satriago, pelanggan alias Customer, bersama Pesaing (Competitor), dan juga Perusahaan (Company) sering disebut sebagai 3C yang merupakan dasar dari Strategic Management.
Dahulu, interaksi antara pelaku bisnis dengan pelanggan tidaklah terlalu rumit. Asal bisa membuat produk yang bagus, pelanggan pasti membeli. Hal tersebut wajar terjadi karena saat itu pilihan tidak sebanyak saat ini. Karakter customer saat itu tidak terlalu menuntut. Kondisi ini membuat satu siklus bisnis (cycle of business) biasanya berhenti pada titik kepuasan pelanggan atau customer satisfaction.
Namun, saat ini kita tidak bisa lagi berhenti pada titik tersebut. Sekarang, banyak pelanggan yang puas, tetapi belum tentu mau membeli lagi pada penjual. Satu siklus bisnis baru berhenti setelah terjadi pembelian kembali atau repurchase. Oleh karenanya, kita memerlukan konsep baru dalam berhubungan dengan pelanggan. Apalagi, saat ini adalah zaman surplus society.
Surplus society adalah kondisi masyarakat yang di dalamnya terdapat banyak perusahaan sejenis, memproduksi hal sejenis, dengan orang-orang sejenis, dan melalui proses yang serupa (similar company produce similar thing by similar people with similar process). Dalam kondisi demikian, apa yang dulu menjadi keunggulan kompetitif perusahaan dengan cepat menjadi “standar industri” sekarang ini. Sertifikasi ISO adalah salah satu contoh yang jelas mengenai hal ini.
Saat ini, bisnis yang sukses perlu memiliki konsep “if customer grow, then we will grow”, jika pelanggan bertumbuh, maka kita pun akan bertumbuh. Berkaitan dengan konsep ini, strategi perusahaan dikembangkan dalam konsep Co-Creation. Perusahaan dan pelanggan (customer) sama-sama mencari jalan agar tumbuh bersama-sama.
Banyak perusahaan kelas dunia yang dapat kita lihat sebagai contoh. Salah satunya adalah Grameen Bank yang didirikan oleh peraih Nobel Muhammad Yunus. Ketika pelanggannya merupakan perempuan miskin di Bangladesh menjadi bertumbuh, Bank tersebut juga tumbuh. Google lebih dahsyat lagi. Kita sebagai pelanggan mereka pun secara langsung ataupun tak langsung terus mendorong Google untuk tumbuh.
Untuk dapat menumbuhkan bisnis anda, perlakukan pelanggan sebagai mitra. Dengan demikian, anda akan memiliki hubungan yang lebih erat. Hindari berbohong kepada pelanggan, lebih baik mengakui kesalahan dan terus menunjukkan itikad untuk belajar dan meningkatkan kualitas. Pahamilah kebutuhan-kebutuhan pelanggan dengan melakukan observasi langsung terhadap kebutuhan-kebutuhan itu.
Lihatlah perusahaan-perusahaan yang inovatif dan kreatif. Kunci kesuksesan mereka adalah melakukan observasi secara detail terhadap perilaku pelanggan. Karena bisnis tidak hanya soal statistik dan laporan konsultan, perusahaan harus berinteraksi dengan pelanggan untuk memahami mereka.
Hubungan baik (relationship) tidak lagi menjadi strategi yang memiliki makna kalau ia hanya didefinisikan sebagai sekadar kenal dan bisa main golf bersama misalnya. Hubungan baik dengan pelanggan diukur dengan customer touch time di mana waktu yang dihabiskan dengan mereka adalah upaya untuk menemukan solusi bagi masalah-masalah mereka. Dengan demikian, mengetahui dan mengerti kebutuhan, perilaku, dan masalah-masalah pelanggan merupakan suatu keharusan dalam bisnis.
Karena pelanggan adalah mitra bisnis, membantu mereka berarti membantu bisnis kita juga. Karena pelanggan adalah mitra, terus jalin hubungan baik dengan mereka, terutama di masa krisis. Perusahaan yang tidak mengabaikan pelanggannya di kala krisis akan memiliki hubungan yang lebih erat dan akan mendapatkan banyak manfaat saat krisis usai.
Sebagaimana antara followers kepada leader-nya, pelanggan tidak menyukai perusahaan yang “jaim” karena hal tersebut seringkali membuat kepercayaan bukan menjadi landasan yang kokoh. Kepercayaan yang timbul ini merupakan kunci customer engagement. Ketika engagement kuat, maka pelanggan yang loyal akan muncul.
Pelanggan yang loyal tak bisa dibeli dengan uang. Kalaupun bisa, dampaknya tidak akan bersifat jangka panjang. Padahal, bisnis dan kepemimpinan itu konsep dasarnya jangka panjang, bukan sesaat. Pelanggan membeli value atau nilai dari produk kita. Semakin banyak pelanggan merasakan value-nya, semakin mereka mau beli, dan harga akhirnya tidak menjadi masalah. Perlakukan juga pembeli dengan adil. Tentu yang beli banyak bisa dapat diskon banyak, tetapi bukan berarti perlakuan partnership value-nya boleh dibedakan. (erlin)