Kita semua tentu mengenal batik. Batik merupakan salah satu produk fashion asli buatan Indonesia. Memiliki motif yang beragam dan nilai seni yang tinggi membuat batik Indonesia dikenal hingga ke mancanegara.
Seiring dengan perkembangan zaman, bisnis penjualan batik juga terus mengalami peningkatan. Salah satunya dialami oleh Dina Rosdiana (27), salah satu pemilik usaha batik khas Cirebon, Jawa Barat, Batik Adifta.
Baca juga: ‘Si Cantik’ Fenny Angela, Pebisnis Perhiasan Lokal Hingga Go Internasional
Kepada indotrading.com Dina menceritakan bila ia dan sang kakak, Efi Utayati (41) adalah generasi ketiga yang melanjutkan bisnis Batik Adifta. Bisnis ini dijalankan secara kekeluargaan dan turun menurun.
“Ini sebenarnya bisnis keluarga, turun temurun dari nenek saya. Saya dan kakak saya adalah generasi ketiga setelah ayah saya. Jadi dari kecil kami tuh sudah terbiasa dan sangat mengenal batik,” ungkap Dina, Senin (8/8/2016).
Sejak kecil Dina dan Efi sudah dididik dan diajari bagaimana caranya membuat batik tulis khas Cirebon dari kedua orang tua mereka. Menurut Dina, membuat batik khas Cirebon cukup sulit terutama saat memilih motif dan warna.
“Batik Cirebon itu khasnya adalah berani bermain warna. Selain variatif, warnanya juga sangat menonjol dan terang. Lebih warna-warni dibandingkan dengan batik kota-kota lain yang warnanya itu lebih gelap, kalem dan teduh. Kalau batik Cirebon cendrung lebih terang,” tuturnya.
Karena melanjutkan bisnis keluarga, Dina mengakui bila ia tidak sama sekali mengeluarkan modal untuk memulai bisnis ini. Meski tanpa modal, justru hal itu menjadi tantangan bagi Dina. Apalagi orang tuanya telah sukses memperkenalkan Batik Adifta ke seluruh Indonesia.
Baca juga: Mengenal Moses Lo, CEO Xendit yang Dikira Orang Indonesia
“Kalau untuk generasi ketiga ini boleh dibilang kami tanpa modal karena kami melanjutkan usaha ayah saya. Awalnya kita jualin dulu yang punya ayah terus hasil penjualan itu kita jadikan modal,” ucapnya.
Menjual Batik Tulis Handmade Berharga Jutaan Rupiah
Produk Batik Adifta yang paling dikenal karena memiliki ciri khas unik adalah batik tulis. Menurut salah satu pemilik usaha, Dina Rosdiana, batik tulis ini dibuat langsung oleh para pembatik lokal asal Cirebon, Jawa Barat. Karena 100% dibuat dengan tangan, harga yang dibanderol batik tulis Batik Adifta juga cukup mahal, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
“Kalau batik tulis itu dimulai dari Rp 600 ribu hingga di atas Rp 2 juta,” katanya.
Selain dibuat dari tangan para pembatik, mahalnya harga batik tulis disebabkan tekstur batik yang dihasilkan sangat halus. Hal itu terjadi karena pada saat proses pembuatan batik dengan menggunakan canting dilakukan dengan cukup hati-hati. Maka tidak heran proses pembuatan batik tulis memerlukan waktu yang cukup lama.
“Perbedaan itu dari pengerjaan hingga kehalusan motif. Batik tulis itu kan dikerjakan satu per satu dengan menggunakan canting. Pengerjaannya memakan waktu berbulan-bulan, ada juga yang sampai tujuh bulan,” paparnya.
Baca juga: Sunny Kamengmau: Lulusan SMP yang Sukses ‘Invasi’ Tas Robita ke Pasar Jepang
Meski berharga mahal, peminat batik tulis Batik Adifta cukup banyak. Namun pembeli terbesar masih didominasi dari masyarakat yang berada di Pulau Jawa.
“Banyak terutama dari Pulau Jawa. Yang paling banyak membeli batik kami itu dari Semarang karena warga Semarang itu sangat mencintai batik,” tambahnya.
Selain menjual batik jenis tulis, Dina juga menyediakan batik jenis cap. Berbeda dengan batik tulis, harga jual batik cap dibanderol lebih murah karena teksturnya lebih kasar dan cukup mudah saat proses pembuatannya.
“Kalau batik cap harganya dari kisaran Rp 85 ribu hingga Rp 225 ribu,” tukasnya.
Jualan Dari Pameran Lokal Hingga Ditawari Ikut Pameran Internasional
Berbagai teknik penjualan dilakukan Dina Rosdiana (pemilik usaha Batik Adifta) agar usahanya bisa tumbuh dan berkembang di tengah ketatnya persaingan pesar batik di dalam negeri. Awal pertama kali bisnis ini dirintis di tahun 1972, teknik penjualan yang dilakukan adalah dari mulut ke mulut.
Setelah itu, Batik Adifta mencoba membuat sebuah galeri khusus penjualan Batik Adifta di Jalan Kebagusan No. 132, Cirebon, Jawa Barat. Kemudian cara lain yang ditempuh adalah dengan menjual melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram.
“Kita ikuti perkembangan zaman, apalagi kita hidup di zaman digital yang serba canggih. Kami pun memasarkan melalui media sosial,” ungkapnya.
Selain ketiga cara tersebut, Dina juga rutin mengikuti pameran di berbagai kota. Dengan mengikuti pameran dianggap Dina sebagai cara ampuh memperkenalkan Batik Adifta dan menggenjot penjualan produk.
“Kita juga mengikuti berbagai pameran sebagai promosi,” tambahnya.
Dari berbagai pameran yang diikuti, Batik Adifta kerap dilirik oleh para perusahaan BUMN dan menawarkan fasilitas keikutsertaan di beberapa pameran internasional secara gratis kepada Batik Adifta. Hal ini tentu tidak disia-siakan oleh Dina.
“Kita beberapa kali mengikuti seleksi hingga akhirya kita terpilih mewakili Indonesia dan beberapa kota lainnya untuk mengikuti pameran di Eropa. Semua biaya ditanggung BUMN, kita cuma bawa diri dan barang saja,” tuturnya.
Baca juga: Yukka Harlanda: Pebisnis Sepatu Kulit Tajir Bermodal Rp 7 Juta
Dina setidaknya telah mengikuti berbagai pameran fashion tingkat internasional terutama di Eropa seperti Belgia, Jerman, Belanda, Swiss dan Prancis. Hal positif yang dialami Dina saat mengikuti pameran internasional tersebut adalah terbukanya peluang pasar ekspor.
“Warga asing semakin tahu Indonesia dan mereka justru tertarik dengan yang Indonesia miliki terutama batik, tentunya mereka tahu kami,” katanya.
Tidak hanya itu, Dina juga kerap diminta mensuplai batik buatannya ke beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri. Batik buatan Dina biasanya dijual kembali saat perayaan hari besar atau hari-hari tertentu di masing-masing KBRI.
“Merasa bangga pasti karena dari beberapa kota di Indonesia kami yang terilih. Tidak hanya mewakili Kota Cirebon, namun juga mewakili Indonesia di kancah dunia,” cetusnya.
Hasilnya cukup positif. Dengan berbagai strategi pemasaran yang dilakukan, Dina mampu meraup omzet rata-rata Rp 100 juta/bulan.
“Satu bulan kurang lebih Rp 100 jutaan, itu hasil penjualan dari pameran, ritel dan online shop,” sebutnya.
Tidak Gampang Menyerah dan Ulet
Menjual dan memasarkan batik bukanlah hal yang mudah dilakukan. Diperlukan keuletan dan modal pantang menyerah terutama pada saat ekonomi lesu dan permintaan yang menurun seperti saat ini.
“Namanya juga jualan pasti kadang rame kadang sepi. Kalau sepi itu yang membuat kami sedih,” ungkapnya.
Baca juga: Mantap! Reza Stefanus Dulang Puluhan Juta Rupiah Dari Bisnis Ikan Mas Koki
Kemudian diperlukan juga kesabaran terutama saat menjelaskan kepada pelanggan produk batik apa saja yang ada dan dijual di Batik Adifta.
“Kita juga terkadang merasa jengkel denga customer yang sangat bawel dan detil nanya kain batik kami tapi ujung-ujungnya mereka tidak membeli,” paparnya.
Lalu kesulitan lainnya adalah memilih motif. Motif batik yang digunakan saat ini harus menggambarkan kesan unik dan kuno serta mengandung arti keindahan dan keluhuran kehidupan. Bila hal ini tidak dilakukan, maka batik yang Anda produksi tidak akan laku dijual di pasaran.
“Meskipun kami menggunakan cara dan resep pembuatan batik dari nenek moyang tapi tetap saja ada bedanya. Batik buatan orang tua kami lebih bagus, ayah kami sudah tiada dan kini tinggal hanya ibu saja. Meskipun begitu ibu sudah tidak terjun lagi dalam usaha batik ini,” katanya.
Meski demikian, Dina mengaku bangga dirinya mau terjun lebih dalam untuk mengelola bisnis batik. Ia optimis bisnis batik di dalam negeri bakal terus berkembang. Oleh karena itu inovasi motif batik dan pemilihan warna dan bahan kain akan ia kedepankan agar Batik Adifta tetap dikenal masyarakat.
Baca juga: Unik dan Langka, Pengusaha Ini Jualan Produk Kulit Buaya Beromzet Ratusan Juta
“Tapi di luar itu banyak sukanya karena kami sangat mencintai batik. Setidaknya dengan cara ini adalah bentuk kecintaan kami terhadap Indonesia. Kami akan selalu meningkatkan kualitas dan service yang baik. Tidak masalah harga yang cukup mahal karena pelanggan puas,” tutupnya.
Reporter: Kumi Laila Penulis: Wiji Nurhayat